Periodisasi Perpustakaan Indonesia Pada Masa Kerajaan
Kepastian bahwa kapan perpustakaan didirikan secara resmi di Indonesia, khususnya pada periode sebelum penjajahan atau periode kerajaan lokal ada beberapa pendapat baik dari sejarawan maupun dari pustakawan Indonesia. Ada pendapat yang mengatakan bahwa awal mula perpustakaan di Indonesia ditandai dengan dikenalnya sistem tulisan. Pendapat ini tidak banyak yang membenarkan dengan alasan bahwa institusi berupa perpustakaan tidak selalu dikaitkan dengan pengenalan tulisan, walaupun nantinya perpustakaan fungsinya untuk menyimpan seperti tulisan pada lontar dan papirus. Dengan demikian, jika awal perpustakaan dikaitka dengan tulisan, berarti sejarah perpustakaan di Indonesia dimulai sejak ditemukannya beberapa prasasti yang dipahat di atas tiang batu di kerajaan Kutai (Kalimantan Timur) pada abad ke-5 M. Tiang Batu itu disebut dengan Yupa. Huruf yang dipakai pada yupa ini adalah huruf pallawa (huruf India Selatan) dan bahasanya Sansekerta, isinya tentang raja Kutai. Tulisan tersebut tidak disimpan di sebuah tempat melainkan dipancangkan di tempat yang terbuka agar terlihat oleh rakyat. Bila berpedoman pada definisi bahwa perpustakaan adalah sebuah ruangan, bagian atau sub-bagian dari sebuah gedung ataupun gedung itu sendiri yang digunakan untuk menyimpan buku, biasanya disimpan menurut tata susunan tertentu serta digunakan untuk anggota perpustakaan. Karena itu, pendapat atau anggapan bahwa Indonesia telah mengenal perpustakaan sejak zaman kerajaan Kutai tidak dapat diterima (Sulistyo-Basuki,1994).
Pendapat selanjutnya mengatakan bahwa perpustakaan sudah mulai dikenal di Indonesia sejak zaman kerajaan Sriwijaya sekitar tahun 692 M. Pendapat para pustakawan tersebut umumnya tidak ditunjang oleh penelitian yang mendalam, hanya berdasarkan asumsi bahwa Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan besar pada masa lalu sehingga dianggap pasti memiliki perpustakaan. Hal ini didukung oleh adanya informasi dari seorang musafir I-tsing dari Cina menyatakan bahwa sekitar tahun 695 M di ibukota kerajaan Sriwijaya hidup lebih dari 1.000 orang biksu. Di samping tugas keagamaan, biksu ini bertugas mempelajari agama Budha melalui berbagai buku. Jika dikaji lebih lanjut, tentunya seribu biksu itu memerlukan buku agama Budha yang masih ditulis tangan dan disimpan di berbagai biara. Bila hal ini benar, maka mungkin saja waktu itu sudah ada perpustakaan dengan alasan naskah agama Buddha disimpan di sebuah tempat serta digunakan oleh para pemakai (para biksu). Pendapat bahwa di zaman kerajaan Sriwijaya telah ada perpustakaan lebih berdasarkan pada analogi daripada penelitian. Setelah Sriwijaya (di Palembang), kemudian muncul berbagai kerajaan di pulau Jawa Seperti: Kerajaan Mataram pada abad ke-6 yang mula-mula berpusat di Jawa Tengah kemudian pindah ke Jawa Timur, pada masa itu, mulai dikenal pujangga keraton yang menulis berbagai karya sastra. Yang pertama adalah naskah Sang Hyang Kamahayanikan yang memuat uraian tentang agama Buddha Mahayana. Selanjutnya muncul dua buah kitab keagamaan yaitu kitab Brahmanda Purana dan Agastyaparwa. Dan masih banyak lagi karya-karya lainnya. Selanjutnya Kerajaan Kediri, Kerajaan Singasari, dan Kerajaan Majapahit. Pada zaman Majapahit, ditulis berbagai naskah, misalnya Mpu Prapanca mengarang buku Negarakertagama sedangkan Mpu Tantular menulis buku Sutasoma. Tercatat pula karangan-karangan lain seperti Kidung Harsawijaya, kidung Ranggalawe, Sorandaka, dani Sundayana. Umumnya naskah tersebut disimpan di keraton. Jika dilihat dari segi perpustakaan, benarkah ada perpustakaan keraton pada saat itu? Kegiatan penulisan dan penyimpanan naskah masih dilanjutkan oleh para raja dan sultan yang tersebar di Nusantara. Misalnya zaman kerajaan Demak, Banten, Mataram, Surakarta, Pakualaman, Mangkunegoro, Cirebon, Melayu, Jambi, Mempawah, Makassar, Maluku, dan Sumbawa. Cirebon adalah salah satu penghasil buku terbanyak sehingga Cirebon dapat dikatakan sebagai pusat perbukuan pada masanya. Umumnya buku-buku tersebut disimpan di istana, tentunya menimbulkan rasa ingin tahu bagaimana penyusunan buku-buku tersebut serta apakah ada katalognya atau tidak. Sayangnya tidak ada sumber yang menjelaskan kepastian tentang itu, namun banyak dugaan bahwa pada saat itu sudah ada perpustakaan dan katalog. Tradisi budaya Indonesia yang lebih mementingkan budaya lisan daripada tulisan menyulitkan peneliti untuk membuktikan penelitiannya secara akurat mengenai perpustakaan pada zaman kerajaan-kerajaan lokal di Nusantara (Sulistyo-Basuki, 1994).
Nurlidiawati. (2014). Sejarah Perkembangan Perpustakaan di Indonesia. Jurnal Ilmu Perpustakaan & Kearsipan Khizanah Al-Hikmah, 2(1), 18–27.
Sulityo Basuki. (1994). Periodisasi Perpustakaan Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya.


Foto oleh Dunia Perpustakaan, tersedia di https://duniaperpustakaan.com/2016/08/sejarah-perpustakaan-di-indonesia.html
Dispusip Channel. (2003, Agustus 14). Sejarah Perpustakaan dari Masa ke masa II Dinas Perpustakaan dan Arsp Kabupaten Bandung [Video]. YouTube. https://youtu.be/I5WlV9p5EK4?si=N2n-rQmaaEtOnXt6